Kamis, 25 Agustus 2016

Jenis Suara Perkutut

Suara burung perkutut terdiri dari 3 bagian. Yaitu suara depan, tengah dan ujung. Suara itu baru dianggap merdu kalau bagian depannya bersih, sedang iramanya luwes, panjang dan membat.

Image result for Jeni perkutut


Sejarahnya pada zaman dahulu, nilai seekor perkutut ditentukan oleh 2 hal, yaitu kemerduan suara dan nilai katuranggannya (bentuk lahiriah, bagian badan yang nampak di luar). Tapi pada zaman sekarang, nilai itu hanya berdasarkan keindahan suaranya saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Ketua Umum P3SI (Persatuan Penggemar Perkutut Seluruh Indonesia).

Berbicara mengenai keindahan suara, katanya setiap individu mempunyai selera sendiri-sendiri. Sebab, kesan yang diterima indera pendengaran bagi setiap orang berbeda-beda. Namun dalam kehidupan sehari-hari dikenal juga adanya selera umum. “Nah, keindahan suara perkutut menurut selera umum ini seperti apakah ?”

Berdasarkan Buku Kawruh Peksi Berkutut ditulis tangan dengan huruf Jawa oleh R.W Padmodiprodjo pada zaman Belanda, dr. Soemoro membagi suara burung perkutut menjadi 3 bagian. Yaitu suara depan (pengajeng/angkatan), suara tengah (penengah/pukulan), dan suara ujung(dawah/pembuang). Ketiga bagian suara ini kalau dieja secara sederhana berbunyi : “Hur- kete – kuk”.

Dari ketiga bagian suara ini, suara tengah (“kete”) boleh tidak ada atau tidak terdengar. Tapi suara depan dan suara ujung belakang mutlak harus ada. Karena tak ada burung perkutut yang berbunyi :” Hur – kete” atau “Kete – kuk” saja. Sedang perkutut yang berbunyi :”Hur – kuk” banyak ditemukan, misalnya perkutut bangkok.


Jumlah suku kata pada suara perkutut disebut tanduk atau wirama. Suara yang hanya terdengar “hur – kuk” saja disebut suara tanduk 2 atau wirama 2, yang terdengar “Hur – te – kuk” disebut tanduk 3 atau wirama 3, sedang yang terdengar “Hur – kete – kuk” disebut tanduk 4 atau wirama 4. Kalau jumlah suku katanya lebih dari 4, istilahnya adalah nutuk. Burung perkutut yang bunyinya “Hur – ketete – kuk” disebut bersuarau nutuk 5, ketek rangkep. Kalau bunyinya “Hur – kete – kuk kuk” istilahnya adalah nutuk 5, susun.

Mengenai keindahan suara, bunyi anggunan burung perkutut baru dianggap merdu kalau suara depan bersih, tidak berakhir dengan huruf R, seperti misalnya “Hur”, dan tidak berakhir dengan huruf K seperti “Ok” atau “Wek” tapi berakhir dengan bunyi O. Misalnya “Wao” atau “Klao” yang terdiri dari 2 suku kata yang nadanya tergabung secara kontinyu. Iramanya harus luwes, panjang dan membat (memantul). Suara tengah harus terdiri dari 2 suku kata atau lebih, tidak boleh kosong atau hanya terdengar sebagai satu suku kata saja. Bunyi tiap suku kata harus terdengar jelas, dan nada masing-masing harus sama. Suara ujung belakang tidak boleh pendek dan berakhir dengan huruf K (misalnya “Kuk”, “Pek” atau “Bek”), melainkan “Koooooongngng” yang panjang dan berhentinya pelan-pelan.

Selain itu tempo yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu “Hur – kete – kuk” juga harus kalem, runtut irama lagunya, ritmis dan serasi pause (selang waktu istirahatnya) antara bunyi “hurketekuk dengan hurketekuk lainnya”.

Khusus bagi suara ujung, dikenal beberapa istilah kualitas suara. Antara lain kuk bares, kuk arum, keteko bares, tirto koo arum, ukung, kung langu, koong kotor, koong kasar, koong cowong, koong angin, koong bersih, dan koong semblih. Tapi Ketua Umum P3SI itu mengaku belum memahami arti istilah-istilah itu. Dan katanya belum ada yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah itu. *** B. S via fb.komunitas pecinta burung.


Sumber : http://www.ngasih.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar